Malam
ini aku duduk di taman di halaman rumah ku. Aku menunduk. Menatap
jemari tangan kanan ku yang memerah. Sebenarnya, dokter bilang, harus
di perban sementara waktu, tapi kalau di perban nanti teman-teman
khawatir. Sedangkan, aku tak ingin siapapun tau akan hal ini. Sakit
sekali rasanya. Tapi aku tersenyum.
"Syukurlah,
tangan ku yang terinjak dan bukannya jepitan ini." Gumam ku
sambil melepas jepitan biru dari rambutku dengan tangan kanan dan
menatap nya.
Tiba-tiba
kejadian kemarin teringat kembali. Saat tanganku terinjak orang. Saat
itu, Aku, Maria, Hosea, Hajey, Yehezkiel, dan Kak Yohanes sedang
jalan-jalan di pasar malam. Tempatnya sangat ramai pengunjungnya.
Lalu jepitan ini, yang sedang ku pakai saat itu terjatuh. Saat ingin
mengambilnya, tangan kananku terinjak orang. Sampai sekarang masih
sakit.
"Jepitan
ini sangat berharga bagiku. Jepitan ini adalah pemberian Hajey saat
aku ulang tahun ke-17. Benar-benar berharga bagiku." Aku
tersenyum lagi berusaha melupakan rasa sakit tangan ini.
“Nona,
sedang apa kau di sini?” Tanya Yohanes menghampiriku.
“Apa?
Oh... gpp koq.” Jawabku masih memandang jepitan ini. Tiba-tiba aku
menyadari sesuatu. “Kakak, sudah ku bilang jangan panggil aku nona,
panggil saja namaku.” Lanjutku.
“Tapi,
tantenya nona kan bilang, tak boleh panggil nama begitu saja, nona.”
Jawabnya. “Lagi pula...... aku kan hanya supirmu.” Gumamnya.
“Hah,
kakak... Tenang saja, Tanteku kan tidak ada di sini, dia tidak akan
tau. Jadi, tidak masalah. Orang tua ku kan juga tidak marah. Panggil
namaku saja yaa.” Jawabku sembari tersenyum simpul.
“..........................”
Dia terdiam menunduk.
Dia
adalah supir pribadiku yang juga ku anggap sebagai kakak. Kak
Yohanes, adalah anak dari PRT (Pembantu Rumah Tangga) dan Pembersih
Kebun di rumahku. Mereka sekeluarga, telah kami anggap sebagai
keluarga. Keluarga mereka telah mengabdi selama 18 tahun pada
keluarga kami. Sejak TK, ketika orang tuaku pergi keluar negeri
karena bisnis, Ibu lah yang merawatku. Ibu adalah Mamanya Kak
Yohanes.Mereka sekeluarga sangat baik. Usiaku dengan kak Yohanes,
hanya berselisih satu tahun. Dia 18, dan aku 17 tahun. Kami sangat
akrab, sebenarnya aku sih yang meng-akrabkan nya. Habis aku ingin
sekali punya kakak. Lagi pula saat kecil kak Yohanes cengeng sekali
saat di juluki anak pembantu. Aku yang membelanya. Aku bilang dia
kakak ku. Ketika mendengar itu, Semua anak itu minta maaf padanya.
Dan kak Yohanes pun berhenti menangis. Kalau ingat kejadian saat
kecil, sepertinya lucu sekali. Tapi sepertinya..... Sekarang kakak
sudah tidak cengeng lagi. Karena udah besar kali yaa?
Hhehehehehehe,.....
“A,
aada apa? Kenapa kau tersenyum memandangiku?” Tanyanya malu-malu.
“Tidak,
tidak apa-apa koq.” Aku berusaha tahan tawa, sambil memandangi
wajahnya yang tampak lucu. Ekspresinya itu loh yang gak tahan. Lucu
banget.
“Ah,
sudah-sudah.” Dia tampak kesal. Tambah lucu saja wajahnya.
Haduh-haduh!
“Kak,
jadwal ku besok apa aja ya?” Tanyaku serius.
“Besok
jadwal nona kosong.” Jawabnya setelah melihat buku jurnal di
sakunya. Tiba-tiba dia seperti mengingat sesuatu.
“Ahh!
Nona... Ehm.. maksudku, Hanie ada Perlombaan melukis di Istana
Merdeka.” Lanjutnya.
“Benarkah?”
Tanyaku lupa sama sekali.
“Kau
lupa ya non.. ehm.. kau lupa ya Hanie?” Tanyanya serius.
“Aahmmmm!”
Aku berusaha mengingat. “Oke,” Jawabku.
“Ingat?”
dia tampak senang.
“Lupa.”
Jawabku singkat.
“Hmm,
ku kira kamu ingat. Yah, pokok nya... besok ada perlombaan melukis
antar sekolah. Di sekolah kita, karena hasil vote suara terbanyak
kamu yang menang. Jadi, Kau yang berlomba.” Jelasnya panjang lebar.
Aku
bingung. Bagaimana ini? Tangan sebelah kanan ku sakit dan pasti tak
bisa melukis. Sedangkan, saran dokter tangan ini tak boleh banyak
gerak. Hmm... Aku memandangi tangan kanan yang sedang memegang
jepitan berbentuk pita berwarna biru ini. Sepertinya aku tampak
murung, hingga kakak menegurku.
“Hanie...
Ada apa? Oh itu jepitan dari Hajey yah? Ternyata dari dekat sangat
cantik yah.” Dia berusaha menghiburku.
“Iya,
kau benar kak.” Aku tersenyum. Baiklah, aku mau istirahat dulu
yah. Besok harus siap-siap lomba.” Kataku kemudian berdiri. Dan
melangkahkan kaki perlahan-lahan hingga menjauhi tempat itu.
^^^^^^^
Keesokan
paginya.
Tampak
seorang bibi (PRT) mengetuk pintu kamar Hanie. Namun sayang sekali,
Pintu itu tak di bukakan oleh Hanie. Namun juga sepertinya kamar itu
kosong tak ada siapa-siapa. Dengan rasa penasaran sang bibi pun
membuka pintu kamar Hanie. Benar saja Hanie sudah tak ada di
kamarnya. Bibi itu masih ada di depan kamar Hanie. Berpikir dengan
keras kemana majikannya itu? Tak lama, Yohanes datang.
“Ibu,
sedang apa?” Tanya Yohanes, anaknya. Dia tampak baru bangun .
“Yo,
kemana ya nona Hanie? Dia belum sarapan. Lagi pula ini baru jam 05.45
tak mungkin juga dia sudah pergi ke sekolah. Biasanya baru bangun.
Mungkin tidak ya dia pergi olahraga?” Tanya bibi itu khawatir.
“Ah! Sudah, kamu cari saja sana. Siapa tau belum jauh.” Perintah
bibi itu.
“Yah,
baiklah bu.” Yohanes pun segera mencarinya.
Hari
semakin siang. Belum menemukan Hanie. Dia segera pulang dan bersiap
kesekolah. Siapa tau Hanie ada di sekolah. Pikirnya.
Ternyata,
Hanie sedang bersama Yehezkiel. Sahabat karibnya sejak kecil. Hanie
sepertinya sedang melukis.
“Tangan
kirimu lumayan juga..” Jawab Yehezkiel sambil tahan kantuk.
“Kau
mengantuk yah? Maaf yah.. aku merepotkanmu. Salah juga sih aku ke
sini saat tengah malam. Eh, gambar yang ini bagaimana?” Tanya
Hanie.
“Hmm...
Hoaaaammm....” Akhirnya Yehezkiel pun menguap. Hanie juga ikutan
menguap. “Hoaaaaammmm....” kemudian mereka tertawa bersama.
“Eh,
kiel, udah jam 07.25 nih. Kita di suruh kumpulnya jam 09.00 kan?
Masih mau lanjut ngga?” Tanya Hanie sambil menggoreskan kuas di
bidang gambarnya.
“Nie,
kebayang ngga sih, nanti tema melukisnya apa?” Tanya Yehezkiel
tiba-tiba.
“Paling
pemandangan di Istana Merdeka.” Jawab Hanie menyepelekan.
“Hey,
siapa tau di suruhnya melukis wajah pak presiden. Siapa yang mengira
kan?” Tebak Yehezkiel asal.
“Oh
yah! Bisa jadi tuh! Cari di internet dong wajah pak presidennya. Aku
mau belajar sekarang.” Pinta Hanie.
Yehezkiel
segera mengambil IPED nya. Dan segera meng-search wajah pak presiden
di google.
“Yang
ini bagaimana?” Usul Yehezkiel sambil menunjukkan fotonya.
“Ah,
jangan yang itu. Itu sih terlalu resmi.” Tolak Hanie.
“Kalau
yang ini bagaimana?” Usul Yehezkiel lagi sambil menunjukkan nya.
“Ih...
itu terlalu santai. Yang lain, yang lain.” Tolak Hanie lagi.
“Hmmm...
bagus nya yang mana ya.... semuanya bagus loh, Nie.” Kata
Yehezkiel.
`”Tapi,
lebih baik memang menggunakan tangan kanan. Tangan kiri susah. Aku
ngga biasa menggunakannya.” Gumam Hanie.
“Hey,
kamu pasti bisa. Semangat dong! Kamu kan jago melukis wajah
seseorang.”
“Itukan
kalau menggunakan tangan kanan.”
“Udah,
tenang aja deh, kamu pasti bisa. Udah nih kamu coba lukis wajah yang
ini. Lagi pakei batik nih, keren.” Usul Yehezkiel lagi.
Hanie
pun berusaha melukis dengan baik. Meski hasilnya tak sebagus jika ia
menggunakan tangan kanannya.
Sementara
itu.... Di sekolah semuanya panik nya luar biasa. Tanpa Hanie, mereka
GALAU.
“Semuanya,
kalian sungguh tidak melihat Hanie?” Tanya Ibu kepala Sekolah.
“Kami
ngga Lihat bu!” Jawab murid-murid kompak.
“Sudah
jam 08.01 ini. Kemana dia ya?” Ibu kepala sekolah tampak cemas.
“Nah,
Hajey, jika Hanie tidak ada, kamu aja yah yang menggantikannya.”
Usul Ibu wali kelas kami. Ibu Litha.
“Oh,
Hajey bisa melukis yah? Bagus kalau begitu. Kita berangkat sekarang.”
Kata ibu kepala sekolah.
“Aduh
ibu bercanda nih. Jangan saya bu, Saya ngga bisa bu.” Jawab Hajey.
“Teman-temaaaaan.......................
Hanie ada ngga?” Tanya Yohanes dengan napas yang tersengal-sengal
karena ke lelahan berlari.
“Hah?
Dia tidak bersamamu?” Tanya Maria heran.
“Ngga.
Justru dari jam 5-an dia udah ngga ada di rumah. Aku kira dia sudah
di sini.” Jelas Yohanes.
“Aku
menghubungi hpnya tapi ngga di angkat.” Kata Hosea tiba-tiba.
“Eh,
Si Yehez juga ngga ada.” Sela Hajey.
“Kenapa
Jey, kau ngga mikir mereka lagi sama-sama kan?” Ledek Maria.
“Apa?
Siapa bilang aku jealos?” balas Hajey.
“Perasaan
Maria ngga bilang kamu jealos deh. Ehem...” Timpal Hosea.
“Ternyata
Hajey.... yaa....” Ledek Maria.
“Hajey
itu ngga jealos, dia kan ngga suka sama Hanie. Iya kan Jey?”
Yohanes mengetes Hajey.
“Oh,
iya ya. Bener tuh.” Jawab Hajey asal.
“Hah?
Serius ?” Tanya Maria, Hosea, Yohanes, TERKEJUT.
Hajey
terdiam. Kemuadian akhirnya mereka berangkat ke Istana Merdeka. Untuk
berlomba.
Tidak
lama mereka tiba tepat waktu. Semua murid dari berbagai sekolah
datang ingin mengikuti perlombaan melukis di Istana.
“Selamat pagi untuk Bapak Ibu
guru, juga murid-murid sekalian. Selamat datang di Istana Merdeka
ini.” Ucapan Sambutan dari Kepala Menteri Istana.
“Sebelumnya, presiden
mengundang kalian ketempat ini adalah untuk mengadakan perlombaan
melukis. Baiklah, segala perlengkapan sudah tersedia. Silahkan para
peserta dari masing-masing sekolah menempatinya. Bagi pemenang, akan
di berikan hadiah istimewa. Yaitu, mendapatkan beasiswa 100% di
Universitas pilihan pemenang. Dan nama sekolah akan di beri
penghargaan.” Lanjut wakil Presiden.
“Hajey, cepat kamu ke sana.
Lukislah sesuatu yang bagus ya.” Saran Ibu kepala sekolah.
“Bu, ini serius. Jangan
saya...” Tolak Hajey.
“Kalau bukan kamu siapa, Hanie?
Mana sekarang dia tidak ada.” Tanya Ibu kepala sekolah kepada
Hajey.
“Sudah ikut saja. Menang kalah
adalah hal yang biasa. Yang penting, sekolah kita tidak kalah sebelum
bertanding.” Lanjut Ibu kepala sekolah memberi Hajey semangat.
“Hanie.....” Hajey
terus-terusan memanggil nama Hanie pelan-pelan. Dengan raut muka yang
benar-benar memelas.
“Hajey, cepat kesana! Sudah mau
mulai loh...” Sela Ibu Litha. Menghampiri Hajey dan Ibu kepala
sekolah.
“Hanie, pasti datang bu. Saya
percaya dia pasti datang. Tunggu sebentar lagi.” Hajey mulai
memelas.
“Lantas kemana dia saat kita
semua benar-benar membutuhkannya? Itu sama saja dia melalaikan
tanggung jawab yang sudah di berikan. Tiba-tiba menghilang, di
hubungi tidak di jawab. Apa namanya kalau bukan lari dari
tanggungjawab?” Lanjut bu kepala sekolah.
“Ibu, Hanie bukan orang yang
seperti itu. Dia pasti datang bu.” Jawab Hajey mencoba meyakinkan.
“Sudah Hajey, cepat kamu ke
sana.” Perintah ibu kepala sekolah. Sembari mendorong Hajey supaya
Hajey berjalan ketempat melukis.
“Hanieeeee........” Tiba-tiba
Hajey teriak memanggil nama Hanie. Memang tidak semua orang
mendengar. Yang mendengar hanya teman-temannya.
^^^^^^
“Maaf, saya datang terlambat
bu.” Kata ku sambil mengatur napas yang tersengal-sengal karena
berlari tadi.
“Hanie? Syukurlah kamu
datang...” Kata Hajey sembari memeluk ku tiba-tiba. Tentu saja aku
terkejut. Segera setelah itu dia melepaskan ku.
“Maaf.” Katanya.
“Cieeeee............” Ledek
teman-teman. Haduh! Jantung ini tambah kencang berdebarnya. Sudah
karena lari tadi, karena ingin lomba, di tambah lagi........ karena
Hajey.
“Hanie, syukurlah kamu datang.
Sudah cepat kamu ketempat itu. Lukislah sesuatu yang bagus yah.”
Ibu kepala sekolah tersenyum padaku.
Senyum
yang sepertinya memberikan semangat padaku. Terimaksih bu. Aku
membalas senyum itu. Dan segera berlari ke tempat yang sudah
tersedia.
“Baiklah, adakah peserta yang
belum hadir?” Tanya menteri.
“SUDAH LENGKAP!!!!” Teriak
teman-teman sekelasku. Entahlah, hanya aku atau memang suara teriakan
Hajey yang paling besar? Aha. Sudah, aku harus fokus.
“Baiklah, karena semua peserta
sudah lengkap, sekarang saat nya memberikan aba-aba.” Lanjut
menteri.
“Tunggu sebentar! Kali ini aku
ingin bicara. Aku ingin, kalian melukis wajahku.” Tiba-tiba pak
presiden berkata demikian. Kami, para peserta cukup terkejut.
“Apa? Bukan pemandangan?
Melukis wajah? Sebelumnya.... aku belum mencobanya.” Keluh salah
satu peserta.
“bagaimana ini? Melukis wajah?”
Gumam peserta yang lain.
“Syukurlah....” batinku.
“Baik, segera.....
MULAI!!!!!!!” Pluit di bunyikan. Sepertinya peserta yang lain ada
yang sudah siap bahkan sudah mulai melukis wajah pak presiden.
Sekarang
masalahnya, untuk melihat dengan jelas wajah pak presiden saja aku
tidak bisa. Jaraknya cukup jauh. Harusnya aku bawa kacamata tadi.
Haduh! Mataku kan Minus. Aku berusaha bersikap tenang. Aku menutup
mataku. Kemudian membuka lagi berusaha melihat pak Presiden. Tetap
saja kurang jelas. Wajah pak Presiden jika di lihat dari dekat
bagaimana ya? Aku menutup mataku lagi. Kali ini cukup lama. Agar aku
bisa konsentrasi membayangkan wajah pak Presiden.
^^^^^^^
“Sedang apa anak itu? Kenapa
dia menutup mata? Sedangkan peserta yang lain sudah mulai melukis.”
Ibu kepala sekolah bertanya-tanya.
“Melatih konsentrasi.” Jawab
Yehezkiel mendekati Ibu Kepala sekolah yang berdiri sendirian.
“Konsentrasi apa?” Tanya Ibu
kepala sekolah.
“Ibu lihatkan, Hanie tidak
pakai kacamata. Mana kelihatan dia melihat orang dengan jelas dari
jarak yang sejauh itu.” Jelas Yehezkiel.
“Jadi, maksudmu , mata Hanie
Minus?” Tanya ibu kepala sekolah.
“Benar, Bu. Tapi, Hanie pasti
bisa.” Jawab Yehezkiel bersikap tenang.
Hajey
terlihat sedang mendekati mereka untuk mengetahui apa yang sedang di
bicarakan oleh Kepala sekolah dan Yehezkiel.
“Cepat, kau berikan kacamatanya
padanya.” Perintah Ibu kepala sekolah.
“Dia ngga bawa kacamata bu.
Tapi tenang saja bu, Dia punya triknya. Yang di sebut,
Tak-Tik-wanita_Cantik.” Yehezkiel tersenyum.
Hajey
tertawa merasa geli ketika mendengar perkataannya Yehezkiel.
“Apa itu?
Tak-Tik-Wanita_Cantik? Hahahaha......” Hajey merasa geli sampai
membuatnya tertawa geli.
Yehezkiel
sangat terkejut ketika melihat Hajey ada di samping kanannya.
“Kau menguping ya?” Tanya
Yehezkiel MENYELIDIKI.
“Apa? HAH. Mana mungkin....”
Hajey berusaha menutupinya.
“Oh, yah sudah.” Lanjut
Yehezkiel.
Yehezkiel
kembali memperhatikan Hanie dari kursi penonton. Yang tadi nya
berdiri, Kemudian dia duduk sambil menumpang kaki. Dengan gayanya
yang memang super duper keren. Hajey yang berada di samping
Yehezkiel terus memandangi Yehezkiel dengan wajah yang penuh rasa
keingin tahuan.
“Jadi, sejak pagi... kalian
bersama yah?” Tanya Hajey pada Yehezkiel.
“Tidak. Tidak sejak pagi.”
Jawab Yehezkiel dengan gaya nya yang cool.
“Lalu ?” Tanya Hajey
penasaran.
“Lalu? Lalu apa maksudmu?
Sudahlah kau jangan tanya-tanya terus. Itu......” Yehezkiel sengaja
membuat Hajey penasaran.
“Itu? Itu apa?” Tanya Hajey
semakin ingin tahu.
Yehezkiel
berbisik di telinga kiri Hajey.
“Itu........ Kau sungguh ingin
tau, itu yang ku maksud apa?” Tanya Hehezkiel.
Tanpa
berkata apa-apa, Hajey mengangguk beberapakali.
“Hm.
Itu...................................................... Rahasia
kami.” Bisik Yehezkiel.
“Heh! Kau cari mati ya?!!!”
Hajey tampak kesal seperti ingin melayangkan tinjunya kepada
Yehezkiel.
“HANIE!!!!!” Tiba-tiba
teman-teman Hanie yang melihat Hanie berteriak heran. Membuat Hajey
tidak jadi memukul Yehezkiel. Segera Hajey memperhatikan Hanie.
Mata
Hajey dan semua teman-teman Hanie benar-benar terbelalak. Kecuali
Yehezkiel. Hal yang membuat mereka semua terkejut adalah karena Hanie
mulai melukis dengan tangan kiri. Ini hal yang tak mungkin.
Sebelumnya, Hanie tak bisa melukis dengan tangan kiri. Mana mungkin?
Semuanya benar-benar terkejut.
“Bagus
Hanie. Semangat!” Batin Yehezkiel.
Akhirnya,
dua jam berakhir. Pluit pun di bunyikan. Hasil lukisan itu di beri
nama dan nama sekolah siswa siswi yang melukisnya. Akhirnya, pak
presiden akan memilih hasil terbaik lukisan itu. Semua peserta dari
berbagai sekolah merasa deg-degan. Hanie pun juga sama.
Tiba
lah saatnya Pak Presiden memberi pengumumannya. Dan.... Pemenangnya
adalah....
“Hanie
dari sekolah 'A High School' silahkan maju kedepan” Perintah Pak
presiden.
“Ah...
Aku?” Hanie bertanya-tanya.
“Hanie
silahkan”
Hanie
pun maju ke depan mendekati pak presiden.
“Aku
memperhatikan, dari semua peserta hanya kau yang melukis dengan
tangan kiri. Ada apa dengan tangan kananmu? Apakah tangan kanan mu
tidak bisa di gunakan untuk melukis?” Tanya pak presiden.
“A....
itu.... “ Gumam Hanie.
“Aku
harus jawab apa? Berarti bukan aku pemenangnya? Tidak boleh melukis
dengan tangan kiri? Bagaimana ini?” Batinnya.
Tiba-tiba
pak presiden yang menatap Hanie sedari tadi tersenyum.
“Selamat
nak, kau lah pemenangnya.” Katanya.
“WAH!
Benarkah pak?”
“Benar.
Kau berbakat. Ini lah lukisan pertama yang ku dapatkan yang
benar-benar ku akui mirip sekali dengan wajahku. Terimakasih.”
Akhirnya,
setelah perlombaan itu mereka kembali kesekolah.
“Hanie,
kau sangat berbakat. Karna mu nama sekolah kita menjadi terkenal.”
Puji Maria.
“Hei,
bukan karna ku juga kan? Heheheehe...”
“Selamat
ya Hanie.”
“Terimakasih.”
“Lalu,
kenapa hadiah beasiswa ke universitas kamu tukar dengan uang?”
“Masuk
universitas kan masih tahun depan. Kelamaan. Lebih baik, kita
bersenang-senang. Aku akan traktir kalian semua makan dan nonton.”
“Horee....
ajak guru-guru juga yah. Oh ya, kepala sekolah juga harus ikut..”
Mereka
pun pergi ke sebuah mall dan makan disana merayakan keberhasilan
Hanie.
^^^^^^^
“Jepitan
ini, masih bertahan rupanya di rambutku.” Sambil berkata demikian,
aku melepaskan jepitan ini dengan tangan kiri. Dan menatapnya
sebentar. Kemudian aku memakaikan nya lagi di rambutku.
“Bersyukur
karena bukan jepitan ini yang terinjak. Tetaplah, berada di kepalaku
yah.” Aku bicara sambil melihat cermin yang ada di hadapanku.
“Meski
tangan kananku rasanya sakit sekali, tapi.... biar lah rasa ini
menjadi rahasia saja. “
Aku
pun keluar dari toilet mall.
“Beasiswa
sekolah ke Jepang benar-benar kau tolak. Semoga pilihan mu tepat
Hanie.” Kata Yehezkiel di depan toilet.
“Bagaimana
ya, tangan kananku sulit ku gunakan lagi.” Balas ku.
“Yah, tidak apa-apa. Pasti
cepat sembuh. Ayo semangat sama-sama!”
“Ah, kau ini. Semangat!!!”
“Eh, teman-teman yang lain
berpencar. Jadi kita bareng sama Maria, Hosea, Hajey, dan Yohanes.”
“Yah, tidak apa-apa kalo gitu.”
“Hmmm... Kiel, masalah tanganku
ini, tolong rahasiakan yah. Terutama dari Hajey.” Lanjutku.
“Kau mau menahan rasa sakit
sendirian ya? Seandainya bisa di bagi dua, bagi aja padaku. Bila
perlu semua rasa sakit yang ada di hatimu. Aku akan menjaga mu. Aku
akan melindungimu.” Yehezkiel tersenyum.
Aku menatapnya. Dia pun
menatapku. Pandangannya begitu tulus padaku. Sayangnya, bukan dia
yang paling ku sukai. Kami masih saling memandang.
“Yehezkiel seperti papa.”
Ledekku.
“Hey.... apa katamu? Awas yah!
Awasnya ledekin aku seperti om-om lagi.”
“Hehehe...”
Kami pun menghampiri teman-teman
kami.
“Hanie, coba lihat ini deh. Ini
kamu kan waktu di pasar malem waktu itu?” Tanya Hosea sambil
memberikan kameranya.
“Kau merekam ku yah?” tanya
ku heran.
“Iya, habis Hanie cute sih.”
Ledek Hosea.
Kalau dia merekam aku terus,
tangan kanan ku yang terinjak akan ketahuan. Sebaiknya aku hapus
video ini.
“Sini kameranya.” Aku merebut
kamera nya dari tangan Hosea.
Aku memutarnya sekali lagi. Benar
ada kejadian saat itu. Sebaiknya cepat aku hapus.
“Sudah ku hapus, hehehehe”
Kataku sambil mengembalikan kamera milik Hosea.
“Hanie, kok di hapus? Aku sama
sekali belum lihat loh bagian akhirnya. Itu kan buat
kenang-kenangan...” Kata Hosea memelas.
“Nanti kita buat
kenang-kenangan yang lain yah. Hehehe ..”
“Ada di video itu yah?” Tanya
Yehezkiel kemudian meminum pepsi blue dengan sedotan.
“Iya.” Jawabku.
“Sudah malem, Yohanes, antar
aku pulang yah...” Pinta Maria.
“Tapi aku pulang mengantar nona
Hanie. Kalau mau ikut, boleh. Kebetulan kami bawa mobil.” Jawab
Yohanes.
Tiba- tiba Hajey menepuk bahu
Yohanes.
“ Biar Hanie pulang bersamaku.”
katanya.
“Astaga, aku terkejut. Dia, mau
mengantar ku pulang? Hoho.. oh, pangeranku.... >_<” Batinku.
“Oke kita pulang yuk.”
Akhirnya semuanya pun pulang.
Hajey pun mengantarku pulang.
Syukurlah... Biarlah ini menjadi
Rahasia aku dan jepitan ini. Meski harus memendam perasaan ini lebih
lama, tidak masalah Asal tetap bisa bersamanya selamanya... Meski
sebatas teman. Benarkan, Hajey? :)
^Selesai^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar